Jerat Manis Pinjaman Online (Pinjol) yang Meresahkan

Pinjaman online atau “pinjol” adalah sistem pinjaman berbasis digital. Akses mudah dan pencairan dan cepat, membuat banyak orang tergiur manisnya layanan ini. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat, jumlah penyaluran pinjaman online atau fintech peer-to-peer lending (P2P) mencapai Rp18,96 triliun per November 2022. Angka itu meningkat  1,28% (month-to-month/mtm) dibanding Oktober 2022  sebesar Rp18,72 triliun. Sedangkan pada Maret 2023 tercatat jumlah penyalurannya mencapai Rp19,73 triliun.

Pada Desember tahun 2022, juga tercatat bahwa pinjaman online disalurkan kepada 13,72 juta entitas peminjam (borrower). Berdasarkan data yang dihimpun oleh databoks.katadata.co.id, mayoritas peminjan berasal dari wilayah Jawa, yaitu sebanyak 10,86 juta peminjam atau sekitar 79,21% dari total peminjam Nasional.

Pinjaman online memang terkesan manis, sebab para peminjam hanya perlu sedikit persyaratan untuk bisa mendapatkan pinjaman. Dilansir dari ocbcnisp.com, persyaratan pengajuan untuk pinjol hanya membutuhkan Kartu Tanda Penduduk (KTP), Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), dan Slip Gaji. Sedikit dan mudahnya persyaratan, membuat para borrower  tidak perlu pusing-pusing mengurus administrasi yang rumit seperti melakukan peminjaman di Bank. Hal inilah yang menjadi salah satu sebab semakin meningkatnya trafik pinjaman online di Indonesia.

Namun apabila ditilik lebih jauh, pinjol memiliki dampak negatif bagi si peminjam terutama pinjaman melalui perusahaan yang tidak terdaftar di OJK atau pinjol ilegal. Berdasarkan putusan dari Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada tahun 2021, memutuskan bahwasannya aktivitas pinjaman online merupakan sesuatu yang haram. Hal tersebut diputuskan oleh Majelis Ulama Indonesia dikarenakan dalam aktivitas pinjol terdapat unsur-unsur riba, ancaman jika telat membayar, hingga aib para korban dapat dibocorkan oleh oknum dari lembaga tersebut.

Keputusan MUI bukannya tanpa dasar, sebab telah banyak kasus akibat pinjol. Kasus pinjaman online yang sempat ramai dan menghebohkan publik adalah kasus yang menjerat 121 mahasiswa Institut Pertanian Bogor (IPB). Para mahasiswa tersebut menjadi korban penipuan pinjaman online yang berkedok kerjasama penjualan online yang membuat mereka terjerat pinjaman pada bulan November 2022 lalu. Pada kasus ini, Kepala Eksekutif Pengawas Industri Keuangan Non Bank OJK, Ogi Prastomiyono, juga turut membeberkan faktanya.

“Total pinjaman sebanyak 197 pinjaman senilai Rp 650,19 juta, dengan tagihan tertinggi Rp 16,09 juta. Angka ini dihimpun Posko Pengaduan Satgas Waspada Investasi (SWI) di IPB sampai 23 November 2022,” Ungkap Kepala Eksekutif Pengawas Industri Keuangan Non Bank OJK Ogi Prastomiyono. Dari hal inilah dapat dilihat sisi pahit dari pinjol, sebab para peminjam harus membayar berkali-kali lipat dari uang yang mereka pinjam sebelumnya.

Pesatnya pertumbuhan pinjaman online

Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK), adalah faktor yang sangat berpengaruh adanya pinjaman online. Pinjaman online (pinjol) atau Financial Technology (fintech) adalah bentuk terobosan baru dalam pelayanan jasa keuangan. Dilansir dari finpedia.id, layanan ini mulai berkembang di Indonesia sejak tahun 2016, dimana saat itu banyak digunakan untuk membantu kelompok Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM). Namun beberapa sumber menyebutkan, fintech sudah hadir di Negeri ini sejak tahun 2006.

Berdasarkan data yang dihimpun oleh OJK, Pada tahun 2023 tercatat ada 148 perusahan pinjol yang telah terdaftar di OJK dan 110 perusahaan pinjol ilegal. Melihat dari jumlah ini menunjukkan angka yang sangat fantastis, banyaknya perusahaan pinjol baik itu yang legal atau ilegal menjadi penanda jika bisnis ini sangat menjanjikan. Namun yang menjadi sorotan adalah masih banyaknya perusahaan pinjol ilegal yang justru menjadi kekhawatiran, sebab apabila masyarakat salah memilih tempat maka dapat dimungkinkan mereka akan terjerat permasalahan yang cukup pelik.

Banyaknya perusahaan pinjol yang bermunculan tentu diakibatkan oleh permintaan peminjaman yang sangat tinggi (supplay-demand). Sedangkan apabila dilihat dari jumlah pengguna jasa pinjol, dapat dikatakan fluktuatif. Tercatat dari data Badan Pusat Statistik (BPS), pinjaman online pada November 2022 disalurkan kepada 13,72 juta entitas peminjam (borrower). Jumlah peminjam tersebut turun 2,76% (mom) dibanding bulan sebelumnya. Mayoritas atau 10,86 juta peminjam berasal dari wilayah Jawa atau setara 79,21% dari total peminjam nasional. Apabila di runut, Jawa Barat menjadi Provinsi dengan jumlah peminjam terbanyak yaitu 4 juta orang, sedangkan Sulawesi Selatan adalah Provinsi dengan peminjam paling rendah yaitu hanya 236.474 orang.

Fintech  ilegal dan legal

Semakin maraknya perkembangan pinjaman online, turut mendorong pesatnya pertumbuhan perusahaan yang menyediakan jasa ini. Berdasarkan pembahasan sebelumnya, diketahui bahwa terdapat perusahaan pinjol legal dan ilegal (tidak terdaftar pada OJK). Berdasarkan data yang dihimpun oleh Satgas Waspada Investasi (SWI) pada Februari 2023, berikut ini beberapa perusahaan pinjol yang terdaftar di OJK:

  1. Danamas
  2. Investree
  3. Amartha
  4. DOMPET Kilat
  5. Boost
  6. TOKO MODAL
  7. Modalku
  8. KTA KILAT
  9. Kredit Pintar, dll

Daftar pinjol ilegal atau yang tidak terdaftar dalam OJK:

  1. Dana Pinjam
  2. Rupiah Now- Pinjaman Online
  3. DanaRupiah-Pinjaman cepat (pencatutan)
  4. Sumber Solusi Terdepan – Cepat (dahulu Dewa Penolong – Pinjaman easy)
  5. 24 Cash (developer Elson)
  6. 24 Cash (developer White Masai)
  7. Dana Go – Pinjaman Uang Online
  8. GO Cash – Dana Cepat, Usaha Lancar
  9. Ekredit, dll.

Jeratan kasus pinjol

Jeratan kasus pinjol dan pinjol adalah hubungan sebab-akibat, dimana para peminjam yang terlilit hutang pinjol akan berujung pada menjadikan dirinya tumbal (pertaruhan), sebab mau tidak mau mereka harus melunasi hutangnya (mampu ataupun tidak). Sehingga segala cara perlu ditempuh, tak khayal jika pada beberapa kasus ditemui orang yang stres bahkan bunuh diri akibat pinjol.

Salah satu contohnya adalah kasus pembunuhan Pak Guru asal Simo Boyolali (Joko Siswoyo, 23 tahun) yang mayatnya ditemukan di Sungai Bengawan Solo (Kebakkramat, Karanganyar, Jawa Tengah) pada hari Kamis (04/05/2023), terungkap motifnya karena masalah utang pinjol salah satu pelaku dengan menggunakan nama korban. Polisi mengungkap bahwa, pelaku tidak mampu membayar hutangnya, sementara korban yang namanya digunakan terus ditagih oleh pihak pinjol. Korban lantas mengunggah status Whatsapp dengan nada menghina pada pelaku karena tidak mampu melunasi hutangnya, hal ini membuat pelaku emosi dan akhirnya membunuh guru tersebut.

Selain contoh kasus diatas, berikut ini beberapa kasus lainnya yang diakibatkan oleh jeratan pinjaman online:

  1. Seorang berinisial FK selaku nasabah (peminjam) mendapat ancaman dan penghinaan pada bulan Maret 2022 yang dilakukan terlapor berinisial G selaku penagih utang.
  2. Seorang pria bernama Dedi, salah satu korban pinjol ilegal. Perkara utang anaknya sebesar Rp 2,5 juta tidak kunjung lunas meski sudah dia bayar sebesar Rp 100 juta, hal ini terjadi pada bulan Oktober  2021.
  3. Seorang sopir taksi berinisial Z ditemukan tidak bernyawa karena mengakhiri hidupnya dengan gantung diri di Jakarta Selatan, pada bulan Februari 2019 karena terlilit utang pinjol.
  4. Seorang pegawai bank di Bojonegoro, Jawa Timur, ditemukan gantung diri pada Agustus 2021 di kantornya gara-gara terjerat utang pinjol yang mencapai Rp23,7 juta.
  5. Seorang pria gantung diri di rumah temannya, di Jakarta Utara, pada bulan Juli 2022. Pria yang berinisial RH mengakhiri hidupnya karena terjerat utang pinjol yang nominalnya mencapai belasan juta rupiah.

OJK Malang juga mencatat pada Februari 2023 terdapat 34 aduan dari masyarakat terkait perbuatan tak mengenakkan dari pihak pinjol ilegal. Jenis aduannya bermacam-macam, mulai dari penagihan pinjaman secara kasar hingga diancam data pribadi disebar ke publik. Aduan terkait keresahan pinjol tercatat terjadi peningkatan jika dibanding periode yang sama pada Januari hingga Februari 2022 lalu. Kepala OJK Malang, Sugiarto Kasmuri menyebut pada periode tersebut hanya ada 9 aduan saja.

”Rata-rata aduan yang kami terima adalah masyarakat belum memahami legalitas pinjol yang dipilih serta lebih memilih asal cepat mendapat uang saja,” kata Sugiarto.

Tingginya kasus jeratan pinjol terjadi karena masyarakat kurang teredukasi dengan baik, terutama dalam memilih perusahaan pinjol yang aman (terdaftar OJK). Selain itu, tingkat literasi keuangan masyarakat yang lemah juga menjadi pemicu banyak terjadi kasus akibat pinjol, salah satunya tidak mampu membayar karena bunga yang besar, bahkan terjebak dalam pinjol yang ilegal.

”Jadi tak salah jika pinjol ilegal masuk dan nasabah lengah, itu yang harus diwaspadai,” tutur Sugiarto.

Hal senada juga diungkapkan oleh Anggota Dewan Komisioner OJK Bidang Edukasi dan Perlindungan Konsumen, Friderica Widyasari Dewi.

“Banyak kasus masyarakat terjerat pinjol ilegal di daerah dengan minim literasi keuangan” Friderica Widyasari Dewi.

Maka dari itu edukasi terkait literasi keuangan dan cara memilih perusahaan pinjol yang aman perlu diberikan kepada masyarakat, agar kasus-kasus yang telah lalu tidak terulang lagi dikemudian hari.

Penulis: HvD l Editor: Uud

Exit mobile version