Janji PSSI yang Tak Pasti

Panggung sepakbola kita memang menjadi pentas yang sangat seksi bagi pejabat. Pasalnya, sejumlah kandidat Ketua Umum Pesatuan Sepakbola Seluruh Indonesia (Ketum PSSI), calon Wakil Ketua Umum, dan calon Exco PSSI berasal dari pejabat politik. Pernyataan dari kandidat Ketum PSSI yang menyebut ada kanker dan mafia di dalam tubuh PSSI mengindikasikan bahwa sepakbola kita sedang tidak baik-baik saja. Bias kepentingan menjadikan sepakbola Indonesia sulit berkembang. Jadi, jika memang ada penyakit di dalam tubuh PSSI, untuk apa kita menangis saat Tim Garuda gagal juara?

Pada tanggal 13 Februari depan, PSSI bakal menggelar Kongres Luarbiasa. Hal yang menjadi sorotan utama dari pelbagai pihak adalah calon Ketum PSSI. Ada lima nama calon Ketum PSSI, yakni AA La Nyalla Mattalitti, Arif Putra Wicaksono, Doni Setiabudi, Erick Thohir, dan Fary Djemy Francis. Calon Ketum PSSI telah lama disusupi oleh sosok yang berasal di berbagai kalangan, namun hal itu tak membuahkan hasil yang maksimal. Lebih-lebih tak ada capaian prestasi yang cukup signifikan bagi Timnas Indonesia selama sembilan dekade terakhir.

Pelatih bukan masalah utama

Tim Nasional (Timnas) Indonesia selalu dilatih oleh pelatih dengan track record yang sangat bagus. Sebut saja, Peter Wihte, pria asal Inggris ini sukses menjuarai Piala AFF duakali bersama Timnas Thailand pada tahun 2000 dan 2002. Saat Withe melakoni Timnas Indonesia di tahun 2004, lagi-lagi Indonesia harus puas dengan status runner-up. Withe gagal memenuhi harapan setelah tim Merah Putih dipermalukan legiun naturalisasi Singapura di partai puncak berformat home and away.

Di periode selanjutnya, Timnas Indonesia kembali dipimpin oleh pria asal Eropa, Alfred Reid. Pelatih asal Austria itu menangani skuad Garuda di Piala AFF tahun 2010, 2014, dan 2016. Namun, Riedl gagal mengantarkan Timnas menjadi juara, dan harus puas menjadi runner up pada Piala AFF 2010 dan 2016. Pada tahun 2017, PSSI mendatangkan pelatih asal Spanyol Luis Mila Aspas. Luis Milla sukses membawa Timnas Spanyol menjuarai piala Eropa U-21. Sayangnya, Milla juga gagal memberikan tropi bagi Timnas Indonesia.

Di tahun berikutnya pada 2019, PSSI merektrut pelatih asal Korea Selatan, Shin Tae-young. STY saat bersama Timnas Korsel berhasil menjuarai EAEF 2017 setelah membantai Jepang dengan skor 4-1. STY makin mencuat ke permukaan setelah memulangkan sang juara bertahan Jerman pada laga terakhir penyisihan grup pada Piala Dunia Russia 2018. Bersama Tim Garuda, STY gagal mempersembahkan tropi Piala AFF, dan hanya finish di partai semifinal. Namun, STY merupakan pelatih pertama yang berhasil lolos kualifikasi Piala Asia 2023.

Kegagalan para pelatih terbaik yang pernah menangani Timnas menyadarkan kita bahwa kegagalan sepakbola Indonesia bukan disebabkan oleh pelatih, melainkan oleh mereka (PSSI) yang tak bertanggung jawab terhadap perkembangan kualitas pemain kita.

Dari sini dapat diambil pelajaran bahwa pelatih bukan fakor utama kegagalan Timnas Indoensia. Kelemahan pemain Timnas jelas berkaitan erat dengan kualitas dasar pemain, seperti masalah akurasi passing dan finishing. Buruknya penyelesaian akhir bukan hanya soal penyerang, tapi semua pemain yang memiliki peluang agar mampu menciptakan gol. Itu semua hulunya dari turnamen sepakbola klub.

Membenahi Liga

Kita mungkin ingat pada Piala Dunia 2010 ketika Gol Frank Lampard dianulir. Wasit memutuskan gol Lampard yang menerpa tiang gawang dianggap belum melewati garis. Padahal dalam tayangan ulang, bola terlihat jelas sudah melewati garis, namun memantul kembali keluar sebelum ditangkap kiper Jerman Manuel Neuer.

Di turnamen selanjutnya, pada Piala Dunia 2014 Brazil, FIFA resmi memperkenalkan sebuah teknologi baru berupa Video Assistant Referee (VAR) agar memudahkan wasit me-review setiap kejanggalan momen pertandingan, sehingga wasit bisa memutuskan secara adil bagi kedua tim. Sistem VAR kemudian diikuti oleh liga-liga di Eropa.

Sementara itu, pada turnamen sepakbola kita seperti Liga 1, tetap tak ada perubahan. Dengan kata lain, sepakbola kita tertinggal 13 tahun dari sepakbola Eropa. Inovasi teknologi sangat urgent bagi sepakbola tanah air, terlebih akan mengurangi kecemasan supporter fanatik, yang marak menuai protes terhadap keputusan wasit.

Liga 1 2022-2023 saat ini telah berusia 28 tahun. Meski begitu, dalam tiga dekade perjalanan kompetisi tersebut masih belum ada perubahan secara signifikan. Sebut saja seperti tragedi pelanggaran HAM di Stadion Kanjuruan Malang Jatim, inkompetensi Wasit dan Hakim Garis lapangan, dan tidak adanya dua asisten wasit tambahan di sisi gawang.

Maka dari itu, Liga 1 harus dilakukan beragam terobosan penting untuk meningkatkan kualitas. Sebagai gambaran, Liga Super Indonesia di musim 2009-2010 menempati peringkat kedelapan peringkat koefisien kompetisi AFC. Itu menjadikan Indonesia memiliki liga terbaik di kawasan Asia Tenggara.

Selain itu, pemberhentian Liga 2 dan 3 oleh PSSI mencerminkan tidak adanya komitmen yang serius dalam menangani masalah kompetisi sepakbola. Tidak diberlakukannya sistem degradasi bagi tiga klub klasemen terbawah di liga 1 akan semakin membuat turnamen makin tidak kompetitif. PR ini menjadi tanggungjawab besar Ketum PSSI selanjutnya, dengan memilih dan menentukan pemeran organisasi yang paham betul managerial sepakbola, karena tim dan pemain yang baik berasal dari liga yang baik.

Mengasah skill pemain

Identitas klub sepakbola Indonesia tidak jelas. Semuanya sama, hanya hasrat ingin juara. Sepakbola bukan hanya soal siapa sang jawara, tapi bagaimana institusi sepakbola baik PSSI maupun klub menghasilkan bibit-bibit baru yang berbakat.

Klub seakan-akan tidak peduli kepada pemain muda, yang penting berkompetisi, dan target tinggi. Akhirnya dana besar dari sponsor yang kita tahu jumlahnya belasan bahkan puluhan miliar setiap tahun itu alokasinya hanya untuk memperkuat timnya, bukan untuk menghasilkan generasi pemain yang berbakat.

Kita tengok ke Eropa, klub asal Belanda, Ajax Amsterdam merupakan klub ketiga terbaik di dunia dengan produktivitas akademi pemain muda berbakat. Klub ini hanya menjuarai Liga Champions sebelum dua dekade terakhir. Namun, mereka selalu menjadi distributor pemain muda ke klub tersukses dan terkaya di dunia seperti Real Madrid, Manchester United, Barcelona, dan Bayern Munchen.

Manchester City, klub yang baru saja populer selama dasawarsa ini, kini telah menghasilkan akademi sepakbola yang berbakat. Begitu mereka punya sponsor besar, akademi jadi salah satu concern utama. Saat ini, akademi mereka menjadi salah satu yang terbaik di dunia. Southampton juga tidak pernah merasakan juara, namun selalu menghasilkan banyak pemain bagus dan menempati akademi ketujuh terbaik di dunia.

Banyak pemain Indonesia yang potensial. Bagas Kahfi, Kakang, Fajar Rahman, David Maulana, Bryan Aldama dan lain-lain. Begitu ke klub Indonesia, potensi mereka tak terlihat. Klub tidak bisa memaksimalkan potensi pemain. Pemain-pemain potensial yang ada saat ini berasal dari bakat alami. Kendati menaturalisasi sebanyak 27 pemain asing bagi Timnas, tak cukup memberikan dampak yang jelas.

Kita sempat memiliki secercah harapan ketika pemain muda kita sempat berlabuh di klub-klub Eropa, seperti Evan Dimas yang sempat merumput bersama Espanyol, Eggy Maulana Vikri dan Witan Sulaiman bersama Klub FK Senica, Skotlandia, serta Bagus Kahfi bersama klub Belanda, Utrecht FC. Namun, kiprah mereka tak berselang lama, karena klub-klub itu tak lagi memperpanjang kontrak pemain tersebut. Ini menandakan bahwa kualitas pemain Indonesia masih belum bisa menyamai  level permainan pemain klub Eropa

Jika klub sepakbola Indonesia memiliki awareness yang tinggi terhadap masa depan akademi sepakbola Indonesia, maka galilah bibit muda yang mempunyai interest  dalam bermain sepakbola. Jangan hanya gantungkan masa depan sepakbola kita kepada PSSI. Ketika klub mencetak akademi sepakbola profesional, mereka tidak akan bermain di Liga yang kotor seperti di Indonesia. Mereka akan dilirik dan bermain bersama klub elit dunia dengan skema turnamen yang lebih menentang.

Penulis: Mas Uud | Editor: Reza

Exit mobile version