Problematika sampah menjadi momok menakutkan di Indonesia, perilaku membuang sampah sembarangan dan pengelolaan sampah yang kurang maksimal. Pada dasarnya, dalam pengelolaan sampah dilakukan dua tahap, yaitu sampah pertama kali akan diletakkan di Tempat Penampungan Sementara (TPS), kemudian setelahnya akan diangkut ke Tempat Pembuangan Akhir (TPA).
TPS merupakan tempat sebelum sampah diangkut ke tempat pendauran ulang, pengolahan, dan/atau tempat pengolahan sampah terpadu. Dari TPS, sampah akan diangkut dan dibawa oleh Dinas Lingkungan menggunakan truk sampah ke TPA. TPA adalah tempat untuk memproses dan mengembalikan sampah ke media lingkungan secara aman bagi manusia dan lingkungan. Maka, selayaknya ketika sampah telah sampai di TPA tidak akan berpotensi merugikan bagi lingkungan, karena saat berada di TPS sampah yang berasal dari berbagai sumber telah dikelola yaitu dipisahkan dengan baik.
Berdasarkan data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan melalui sipsn.menlhk.go.id jumlah timbulan sampah di Indonesia yang berasal dari 280 Kabupaten/Kota se-Indonesia pada tahun 2022 yaitu sebesar 33.145.296,81 ton/tahun. Besarnya angka timbulan sampah ini menunjukkan jika buangan sampah di Indonesia tergolong tinggi hal ini salah satunya dikarenakan faktor jumlah penduduk, dari data yang dihimpun dalam laporan Bank Dunia yang bertajuk The Atlas of Sustainable Development Goals 2023 diketahui bahwa Indonesia termasuk negara pengahasil sampah terbesar ke 5 di dunia setelah Brasil, India, Amerika, dan Tiongkok.
Kondisi ini tidak bisa dianggap biasa-biasa saja karena problematika sampah yang tidak bisa teratasi atau bahkan dibiarkan begitu saja akan berdampak negatif untuk jangka panjang baik itu pada lingkungan maupun kesehatan sekitar.
Sektor penyumbang sampah
Banyaknya sampah tentu sangat berkaitan dengan penyebabnya yaitu sektor yang turut menyumbang menumpuknya sampah. Sampah dari rumah tangga dan sampah yang berasal dari pasar tradisional adalah beberapa sektor yang menyumbang sampah. Dilansir dari sipsn.menlhk.go.id sampah yang berasal dari rumah tangga merupakan sektor penyumbang terbesar hingga mencapai 38,2%, kemudian pasar tradisional 27,8%, dan pusat perniagaan 14,4% serta sektor lainnya.
Sampah yang berasal dari rumah tangga, pasar tradisional sangatlah bermacam-macam mulai dari plastik sisa bungkus makanan, sisa makanan dan lainnya. Berdasarkan data dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) pada tahun 2022, komposisi sampah berdasarkan jenisnya terdiri dari sisa makanan (40%), kayu/ranting/daun (13,4%), plastik (17,9%) dan sisanya kertas, karet, kain, kaca, logam dan lainnya.
Gunung Sampah Bantar Gebang
Di Indonesia terdapat beberapa gunungan sampah akibat pengolahan sampah di TPS atau TPA yang tidak terkelola dengan baik. Setidaknya ada beberapa tempat di Indonesia yang memiliki gunung sampah. Julukan gunung sampah dikarenakan kondisi tumpukan sampah yang menjulang tinggi seperti gunung.
TPST Bantar Gebang merupakan salah satu gunung sampah yang berada di wilayah Bekasi, diketahui jika terdapat sekitar empat gunung sampah yang ketinggiannya mencapai 50 meter bahkan ada yang sampai 60 meter atau setara dengan bangunan 20 lantai.
TPST Bantar Gebang termasuk ke dalam salah satu gunung sampah terbesar di Asia, hal ini sulit dipungkiri karena jumlah atau kapasitas sampah yang tedapat di tempat tersebut. Berdasarkan Trend TPST Bantar Gebang berdasarkan rata-rata berat sampah per hari (ton/hari) pada tahun 2019 mencapai 7000-8000 ton/hari. Sedangkan berdasarkan rata-rata kendaraan masuk per hari (rit/hari) terdapat sekitar 1000-1400 rit/hari-nya.
Sampah tak terkendali
Berdasarkan data dari sipsn.menlhk.go.id diketahui bahwa pada tahun 2022 dari total 33,145.296,81 juta ton/tahun sampah, sampah yang berhasil dikelola sebesar 63,51% (21.049.631,09 juta ton/tahun) dan masih terdapat 36,49% (12.095.665,72 juta ton/tahun sampah) yang tidak terkelola. Dengan demikian menunjukkan jika, tumpukan sampah baik itu di TPS atau TPA di beberapa wilayah masih sangatlah banyak.
Berkaitan dengan permasalahan ini, pemerintah turut menggenjot penyelesaian problematika sampah yang tak kunjung usai. Salah satunya, pemerintah pusat mengucurkan dana hingga Rp 70 miliar untuk membangun Tempat Pengolahan Sampah Terpadu (TPST) dengan menggunakan siste RDF di Cipayung, Depok. Namun, upaya ini dianggap akan berdampak negatif pada lingkungan.
Koordinator Komunitas Nol Sampah , Hermawan Some mengatakan jika metode pengolahan dengan RDF akan berdampak negatif terhadap lingkungan.
“Iya (negatif), kalau untuk jadi RDF, negatif. Bisa jadi ke depan karena pakai RDF, nanti ada pencemaran di lokasi pabrik, jadi masalah. Secara teori, pasti akan meningkatkan polusi. Nah itu kan bisa jadi ada masyarakat sekitar protes,” ujar Koordinator Komunitas Nol Sampah Hermawan Some, Selasa (1/8/2023).
Perlu diketahui, Refuse Derived Fuel sering disingkat dengan RDF merupakan hasil pengolahan sampah yang dikeringkan untuk menurunkan kadar air hingga <25%, berdasarkan hal ini menujukkan jika dalam prosesnya menggunakan proses pembakaran untuk mengurangi kadar airnya, sehingga secara tidak langsung akan menimbulkan polutan asap.
Lebih lanjut, Hermawan menjelaskan jika, penggunaan RDF sangatlah tidak tepat karena justru akan menimbulkan permasalahan baru yaitu polusi udara.
“(Menyebabkan) polusi udara pastinya. Yang pertama, kalau dijadikan bahan bakar pabrik semen itu bisa jadi nanti abu hasil pembakarannya mau dikemanakan? Pasti 10 persen hasilnya abu. Misal bakarnya 100 ton, berarti akan ada 10 ton abu yang harus dikemanakan, harus dikelola,” ujar Hermawan.
Hermawan juga menyampaikan akan adanya polusi air tanah dari pembuangan sisa abu. Sebab penangannya harus khusus untuk benar-benar mengolah. Dia turut menyampaikan jika ada bahan baku berbahaya (B3) dari pengolahan sampah itu.
“(Polusi air tanah) Pasti ada, kan abunya akan dibuang akan ada mikroplastik, abu, masuk ke air, pasti akan ke tanah. Dari penanganan abu ini harus khusus, tidak bisa sembarangan dilakukan. Saya nggak yakin sampah yang dibakar itu tidak ada B3-nya. Contoh, orang biasa sekarang buang kemasan oli, itu kan B3, olinya B3, kemasan minyak, itu juga B3. Nah kalau dibakar, pasti akan jauh lebih berbahaya lagi,” ungkapnya.
Menurut CEO dan Founder WasteChange, Mohamad Bijaksana Junersano, terdapat tiga hal mendasar yang menyebakan permasalahan sampah.
“Permasalahansampah terjadi karena minimnya penegakan hukum, anggaran pengelolaan, dan tidak adanya panduan kemitraan” Mohamad Bijaksana Junersano.
Junersano, menjelaskan tidak adanya konsekuensi atas tindakan membuang sampah sembaranga menecerminkan kurangnya penegakan hukum. Padahal terdapat Undang-undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang pengelolaan sampah.
“Masyarakat akan menjalankan peraturan tersebut jika penegakan hukumnya berjaan dan ada konsekuensi jika tidak dilaksanakan. Jadi ini bukan pilihan melainkan kewajiban” imbuh Junersano.
Tidak terkendalinya sampah bukanlah permasalahan remeh-temeh, sebab hal ini terjadi telah lama dan berlarut-larut dan seakan sukar untuk diatasi. Apabila ditilik lebih jauh, terdapat beberapa faktor yang menyebabkan permasalahan akan sampah sulit diselesaikan antara lain kurangnya kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga lingkungan yaitu membuang sampah sembarangan, inisiatif masyarakat untuk memilih-memilah sampah yang bisa di olah dan tidak bisa olah kembali, dan ketersediaan unit pengelolaan sampah terpadu yang belum merata dan maksimal untuk mengatasi permasalahan sampah.
Penulis: HvD l Editor: Uud