Generasi Milenial Harus Ber(t)ani?

Pasca lulus dari Perguruan Tinggi, Handika memilih kembali ke kampung halamannya di Lumajang, Jawa Timur untuk menggarap lahan milik keluarganya. Bekal studi 5 tahun di Fakultas Pertanian, jadi modal utamanya. Handika optimis mampu mengolah lahan pertanian miliknya, timbang harus bergelut mencari pekerjaan.

“Awal terjun ke dunia pertanian karena melihat prospek menjanjikan dan menguntungkan. Terlebih aku juga punya ilmunya, jadi aku sampai saat ini bukan hanya bertani secara konvensional, namun bertani yang terintegrasi dari segi produksi, pengolahan dan pemasarannya” tuturnya.

Berbeda dengan Brian, dia memilih untuk meneruskan usaha keluarganya membuka kios pertanian di Jember, Jawa Timur. Meskipun dia pernah menjajal kerja sebagai formulator di salah satu pabrik pertanian di Tangerang.

“Sebenarnya sih lebih enak kerja di kantor. Gak ada target jualan, gak panas.” tandasnya.

Brian juga punya misi tersendiri, dia membuka kios bukan hanya untuk mencari untung semata, tapi juga mengedukasi petani terkait obat – obatan yang dia jual.

“Kadang kita kasihan ke petani, mereka itu gak semuanya tau tentang obat – obatan. Mereka belum sepenuhnya bisa membedakan mana obat yang digunakan untuk hama, penyakit, atau gulma. Petani ke kios itu jangan sampai salah beli, kita ingin petani sekitar kios lebih tahu tentang barang pertanian yangg beredar. Jadi jangan ikutan trend  lah kalo di sawahnya kena ini semuanya beli barang yang sama, padahal tergantung dari problemnya”jelasnya.

Mendirikan klinik pertanian seperti yang dilakukan Brian adalah jawaban atas problem yang dihadapi para petani terkait proses budidaya lahan pertanian.

Tidak banyak generasi milenial yang berfikir seperti Handika dan Brian.

Sependek pengetahuan saya, memang sedikit lulusan Pertanian memilih menjadi petani, meski rata – rata bekerja pada sektor industri pertanian.

Badan Pusat Statistik mencatat jika persentase pemuda yang bekerja di sektor pertanian semakin tahun semakin turun. Berdasarkan grafik di bawah ini, generasi milenial lebih banyak bekerja di sektor non pertanian seperti sektor manufaktur dan jasa yang trendnya semakin tinggi.

Dalam 10 tahun terakhir, persantase pemuda yang bekerja di sektor pertanian terus merosot, jika pada tahun 2011 berkisar pada 29,18%, maka pada tahun 2021 sebesar 19,18%. Berbeda dengan sektor lainnya yang cenderung naik.

Rendahnya minat generasi milenial bekerja pada sektor pertanian juga dapat dilihat dari jumlah rumah tangga usaha pertanian menurut kelompok umur.

Badan Pusat Statistik mencatat pada 2018 jumlah RTUP masih didominasi oleh usia 45-54 tahun ke atas. Jumlah RUTP pada tahun 2018 pada usia 35-45 tahun ke bawah pun tercatat turun dibanding pada tahun 2013. Dari total 27 juta RUTP hanya 9 juta RUTP 35-44 tahun ke bawah, yang artinya hanya 33% generasi milenial bekerja pada sektor pertanian.

Sengkarut Sektor Pertanian

Rendahnya minat generasi milenial untuk bekerja di sektor pertanian karena sektor ini memiliki resiko yang cukup besar, selain banyak masalah yang sampai saat ini belum bisa diselesaikan. Pertama, kepemilikan dan luasan lahan yang semakin turun menjadi problem utama. Handika menuturkan jika ingin fulltime menjadi petani memang harus menggarap minimal 2 ha, jika garapannya dibawah luasan itu perlu ada penghasilan dari profesi lain.

“Hitungannya begini. Misal contoh standar budidaya padi di wilayahku dengan luasan 1 ha dapat menghasilkan produksi rata – rata 5 ton dengan harga jual patokan pemerintah Rp 4.200/kg. Modalnya saja sudah 9 juta an, belum hitungan sewa lahan per musim tanam sekitar 4 juta an. Paling keuntungan bersih dari 1 ha lahan hanya 8 juta per musim tanam. Gak worthit 4 bulan hanya dapat segitu”.

Kedua, belum lagi jika harga panen tidak menentu, bisa berimbas pada sektor lainnya. Kios – kios pertanian seperti yang dipunyai Brian pun ikut loyo. Padahal bisnis di sektor pertanian itu menjanjikan. Selama sektor pertanian masih eksis, kios – kios juga pasti ikut eksis.

Negara benar – benar harus ikut campur mengatasi problem pasar pertanian, jika ingin generasi milenial tertarik menjadi petani. Kita mungkin banyak mendengar cerita petani tidak mendapatkan keuntungan, atau bersyukur jika produksinya masih bisa balik modal.

Brian menyampaikan kepada redaksi Deras.Id jika dia memiliki pengalaman mendengar keluhan petani milenial yang membeli produk di tokonya.

“Akhir – akhir ini ngenes banget, sudah satu atau dua bulan ada petani kubis yang menjadi langganan tokoku mengeluh kalau harga panen nya hanya 500 rupiah, padahal sudah nanem kubis, dirumat sampai bagus. Sekarang juga cabe lagi murah. Sekarang nih, padi mahal tapi coba kalau mau panen nanti pasti murah” ungkapnya.

Ketiga, tingginya bahan penunjang produksi pertanian seperti kenaikan pupuk non-subsidi yang hampir 100% seperti Urea dan ZA. Untuk pupuk subsidi pun ketersediannya langka dan pembagiannya tidak merata.

Berbagai sengkarut yang terjadi di sektor pertanian sebenernya tidak menyurutkan Handika dan Brian untuk terus bekerja pada sektor ini. Pemerintah Pusat melalui Kementerian Pertanian pun terus menggenjot untuk meningkatkan jumlah petani milenial di Indonesia dengan berbagai program yang terus dijalankan.

Meskipun selama ini Handika belum merasakan penuh konsern Pemerintah dalam urusan bantuan permodalan. Hanya Kredit Usaha Rakyat (KUR) yang dapat diakses. Jika pemerintah lebih care saja ke petani, akan banyak milenial yang memiliki keinginan dan berani jadi petani.

“Minimal kita dikasih jaminan harga dan asuransi untuk kegagalan panen. Sebenarnya sudah ada asuransi usaha tani padi, tapi masih belum berjalan secara optimal. Dan kalau bisa semua komoditi juga ada asuransi kegagalannya” tutupnya.

Ali Jamil Direktur Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian (PSP) Kementerian Pertanian pun menuturkan pentingnya jaminan asuransi pertanian agar petani terhindar dari kerugian dan dapat tenang dalam menjalankan aktivitas bertani.

“Asuransi bisa menjamin petani untuk terus menanam meski terjadi gagal panen. Sebab, ada klaim yang bisa dimanfaatkan sehingga petani tetap memiliki modal untuk terus menanam. Untuk itu, kami terus mendorong petani agar memanfaatkan asuransi,” katanya.

Setidaknya Handika dan Brian menjadi potret generasi milenial yang masih setia bekerja pada sektor pertanian, meski belum bisa memberikan impact yang lebih untuk kehidupan sehari – hari.

“Sekarang sudah gak kepikiran ikut perusahaan, justru pinginnya belajar jadi petani sungguhan, bukan hanya menyediakan saprodi pertanian saja. Karena aku masih punya keyakinan jika bertani itu untuk kemaslahatan bersama”. tutup Brian mengakhiri perbincangan.

Semoga para millenial mau dan berani jadi petani.

Penulis: Irman Lukmana

Exit mobile version