Bola Salju Impor Beras di Negara Agraris

Indonesia dikenal sebagai negara agraris karena sumber daya alam yang melimpah. Sudah selayaknya Indonesia menjadi salah satu sentra kedaulatan pangan di dunia. Minimal, untuk memenuhi kebutuhan konsumsi masyarakat itu sendiri. Namun, kenyataannya, Indonesia masih bergantung pada impor dengan mendatangkan beras dari luar negeri. Beras yang merupakan bahan pangan pokok masyarakat Indonesia, tentu menjadi problem bila pemenuhan akan bahan pangan ini tidak tercukupi.

Padahal, Indonesia sangat didukung dengan kondisi geografisnya, yaitu letak wilayah Indonesia yang dilewati oleh garis khatulistiwa. Hal ini membuat Indonesia beriklim tropis atau memiliki dua musim yaitu musim hujan dan musim kemarau. Sehingga dengan adanya curah hujan yang cukup membuat wilayah Indonesia subur dan cocok sebagai lahan pertanian terutama padi yang merupakan bahan makan pokok nomor satu di Indonesia.

Sayangnya hal ini tidak berbanding lurus dengan kondisi di lapang, dengan kondisi geografis yang mendukung masih membuat Negara Indonesia tidak lepas dari bayang-bayang impor pangan terutama dalam hal ini yaitu pada komoditi beras.

Direktur Utama Perum Bulog, Budi Waseso mengatakan bahwa pada Februari 2023 sebanyak 500 ribu ton beras telah tiba di Indonesia. Ia mengaku mendapat penugasan dari negara untuk tetap melaksanakan impor beras sebagai cadangan beras pemerintah (CBP). Hal tersebut lantaran perhitungan Bulog dan prediksi Kementerian Pertanian mengenai masa panen yang akan terjadi pada Maret 2023.

“Terakhir itu kedatangannya (beras impor) pertengahan Februari, sehingga Maret itu tidak ada lagi barang impor yang masuk ke Indonesia,” kata Buwas, sapaan akrabnya, dalam Rapat Kerja dengan Komisi IV DPR RI di Jakarta, Senin (16/1/23).

Impor beras di Indonesia

Impor beras bukan menjadi hal yang baru lagi di Negeri ini. Dilihat dari kebutuhannya, jenis beras yang diimpor diklasifikasikan menjadi 2 yaitu beras umum dan beras khusus. Terdapat beberapa negara yang memenuhi kebutuhan beras Indonesia yaitu Vietnam, Thailand, dan India.

Badan Pusat Statistik (BPS) juga mencatat bahwa Indonesia telah mengimpor beras sebanyak 326,45 ribu ton sepanjang Januari-November 2022. Trend impor beras Indonesia tergolong fluktuatif setiap tahunnya. Hal ini menunjukkan bahwa sangat sulit sekali Indonesia untuk terbebas dari jerat impor beras.

Apabila dibandingkan dengan negara-negara lainya seperti China yang notabene sebagai negara dengan tingkat konsumsi beras tertinggi di dunia, dimana tercatat pada tahun 2021/2022 yaitu sebesar 154,9 juta  ton. Namun, China masih bisa mengekspor berasnya ke Indonesia.

Indonesia pada tahun 2022 juga diketahui mengekspor beras sebesar 2.839 ton. Akan tetapi, ekspor ini dilakukan karena pada tahun tersebut juga diketahui Indonesia mengalami surplus beras. Sehingga, hal ini tidak mengherankan jika Indonesia masih bisa ekspor beras di tengah pemenuhan kebutuhan beras di dalam negeri.

Baca Juga: Misal Childfree: Siapa Takut?

Baca Juga: Ilusi Negara Maritim: Kekurangan Ikan di Tengah Melimpahnya SDA

Adanya impor beras di tahun ini salah satunya disebabkan jumlah pasokan beras di Perusahaan Umum (Perum) Bulog kian menipis. Hal ini juga disampaikan oleh Presiden Joko Widodo. “Soal impor beras tanya ke Bulog, secara nasional kita butuh karena stoknya dari Bulog tipis”, kata Jokowi usai meninjau ketersediaan sembako di Pasar Wonokromo, Surabaya (18/2/23).

Tingkat produksi dan kebutuhan beras di Indonesia

Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat,  pada tahun 2021, luas panen padi mencapai sekitar 10,41 juta hektare atau mengalami penurunan sebanyak 245,47 ribu hektar (2,30 persen) dibandingkan tahun 2020. Sementara itu, produksi padi tahun 2021 yaitu sebesar 54,42 juta ton GKG (Gabah Kering Giling). Jika dikonversikan menjadi beras, produksi beras tahun 2021 mencapai sekitar 31,36 juta ton, atau turun sebesar 140,73 ribu ton (0,45 persen) dibandingkan dengan produksi beras tahun 2020.

Lebih lanjut, BPS juga merinci bahwa luas panen padi pada 2022 yaitu sebesar 10,61 juta hektare, mengalami peningkatan sebanyak 194,71 ribu hektare, atau 1,87 persen dibandingkan luas panen padi di 2021 yang sebesar 10,41 juta hektare. Jumlah produksi padi yaitu sebesar 55,67 juta ton GKG atau mengalami kenaikan 1,25 juta ton dari tahun 2021, sedangkan untuk jumlah produksi beras di tahun 2022 mencapai  32,07 juta ton.

Trend produksi padi dari rentan tahun 2020-2022 menunjukkan adanya peningkatan dari tahun ke tahun. Pada tahun 2022, Indonesia juga berhasil swasembada beras karena ketersediaannya mampu memenuhi kebutuhan Nasional. Pada tahun 2022, terjadi surplus, sebab tingkat ketersediaan beras melebihi kebutuhan konsumsi.

Konsumsi beras di Indonesia pada umumnya diperuntukkan untuk kebutuhan rumah tangga dan juga industri sebagai bahan baku pengolahan tepung dan lain-lain. Tingkat konsumsi beras di Indonesia cukup tinggi dari tahun ke tahun. Berdasarkan data dari statista.com, diketahui bahwa tingkat konsumsi beras Indonesia pada periode 2021/2022 menempati peringkat kelima sebagai negara dengan tingkat konsumsi beras tertinggi di dunia yaitu sebesar 35,6 juta ton.

Meskipun impor dibutuhkan  untuk menambah jumlah stok beras pemerintah dan menjaga stabilitas harga di saat terjadi lonjakan harga ataupun bencana alam,  Apakah impor adalah solusi tepat untuk memenuhi kebutuhan beras di Negeri ini? Jika impor memang dibutuhkan, setidaknya jumlahnya tidak terlalu besar. Pemerintah perlu merancang strategi kebijakan agar bisa memanfaatkan potensi di Negeri sendiri dalam pengelolaan beras dari hulu hingga hilir.

Faktor menurunnya produksi beras di Indonesia

Kurang maksimalnya produksi padi di Indonesia di disebabkan oleh faktor internal dan eksternal. Faktor internal berupa ketersediaan bibit, pupuk, dan akses akomodasi. Sedangkan untuk faktor eksternal dikarenakan oleh cuaca dan ketersediaan lahan.

Faktor internal berupa ketersediaan pupuk adalah permasalahan klasik. Terkait pupuk, terkhusus tanaman pertanian biasanya disubsidi pemerintah. Namun, kenyataan di lapangan masih ada saja kendala yang dihadapi seperti persediaan dan kendala distribusi.

Dilansir dari Ombudsman.go.id,  terdapat lima potensi maladministrasi, antara lain tidak dituangkannya kriteria secara detail petani penerima pupuk bersubsidi dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor 49 Tahun 2020 tentang Alokasi dan Harga Eceran Tertinggi Sektor Pertanian Tahun Anggaran 2021. Hal ini berdampak pada penyaluran yang tidak tepat sasaran, sehingga petani yang seharusnya memperoleh subsidi, justru tidak mendapatkannya.

Selain itu, kenaikan harga pupuk juga berpengaruh terhadap menurunya produksi beras dalam negeri. Presiden Jokowi menjelaskan tingginya harga pupuk disebabkan oleh banyak hal, salah satunya adalah konflik Rusia dengan Ukraina. Kebutuhan pupuk (NPK) di Indonesia 13,5 juta ton. Sedangkan yang dipenuhi baru terealisasi sebanyak 3,5 juta ton. “Ini yang harus kita atasi,” katanya kepada wartawan, di Jakarta, (14/2/23).

Selain itu, permasalahan lainnya yang menjadi kendala adalah faktor cuaca. Sekretaris Jenderal Aliansi Petani Indonesia Muhammad Nuruddin menilai stok beras domestik sangat tidak aman. Ia menyebutkan cadangan beras pemerintah hanya 2 juta ton, sementara faktor cuaca ke depan akan terus menggerus hasil panen petani.

“Kalau dilihat dari luasan lahan panen yang setiap tahun berkurang, faktor iklim yang berdampak pada produktivitas, mau gak mau pasti akan impor di tahun depan,” katanya dalam bincang Hari Pangan Sedunia, di Jakarta Pusat, Jumat (21/10/22).

Apabila dicermati mendalam, sebenarnya permasalahan yang ada adalah hal yang klise. Seperti cuaca, mungkin memang sangat sulit untuk diantisipasi. Akan tetapi banyak inovasi yang bisa diterapkan untuk pertanian, seperti menanam dalam gedung atau menggunakan greenhouse. Inovasi pertanian modern seperti ini sudah banyak diadopsi oleh beberapa negara seperti Jepang. Oleh karena itu,  pemerintah sangat dibutuhkan agar produksi beras terus bertambah pesat.

Selain itu, alih fungsi lahan dari lahan produktif menjadi lahan non produktif tergusur karena pembangunan. Tentu ini harus menjadi salah satu prioritas permasalahan yang perlu diselesaikan, untuk itu perlu aturan yang tegas terkait peruntukan lahan pertanian di Indonesia.   

Impor beras masih akan menjadi ancaman serius bagi Indonesia, sebab dengan ketergantungan pada luar negeri untuk memenuhi kebutuhan komoditas beras yang merupakan makanan pokok bisa berakibat pada krisis, baik krisis pangan maupun ekonomi. Maka dari itu, pemerintah perlu bertanggungjawab untuk mengurangi dan mengatasi permasalahan ini. Impor beras adalah masalah yang sangat kompleks, sehingga penanganannya perlu dilakukan dari hulu-hilir yaitu dari proses pemenuhan bibit, pupuk, lahan hingga distribusi dan juga pengelolaan stabilitas harga beras.

Penulis: Havid | Editor: Uud

Exit mobile version