Jakarta, Deras.id – Setiap kali mendengar kata takjil memori kita langsung terbawa pada panorama bulan suci ramadan. Sebuah tradisi yang biasa dilakukan seorang muslim untuk berbagi makanan ringan kepada umat Islam yang sedang menjalankan ibadah puasa.
Penggunaan kata takjil berpijak pada hadits Nabi Muhammad Saw yang berbunyi:
“Manusia, masih terhitung dalam kebaikan selama ia menyegerakan ‘Ajallu’ berbuka”. (H.R Bukhari, Muslim). Berangkat dari hadits tersebut, istilah takjil kemudian diartikan oleh banyak ulama sebagai anjuran untuk menyegerakan berbuka tatkala waktunya sudah tiba.
Sekilas jika melihat latar sejarah penggunaan istilah di atas terkesan sudah lama di praktikkan umat Islam sejak era awal kelahirannya, sebab dalam Hadits memiliki arti “segala sesuatu yang disandarkan kepada Nabi Muhammad, baik berupa, perkataan, tindakan, serta persetujuan (takrir)”.
Snouck Hurgronje, seorang orientalis menemukan kliping sejarah yang ditulis 1891-2892 menunjukkan bahwa masyarakat Aceh di tahun itu sudah melestarikan tradisi takjil saat bulan Ramadan. Lumrahnya tradisi ini dilakukan secara bersama sama di Masjid oleh Muslim Aceh, menu utamanya berupa E Bu Peudah atau sebutan lain dari bubur pedas.
Berdasarkan sumber lainnya Abdul Munir Mulkhan dalam bukunya ‘Pembahruan Sosial dan Kemanusiaan’ menjelaskan bahwa Ormas Islam Muhammadiyah juga terlibat dalam penyebaran tradisi Takjil, tercatat sejak tahun 1912. Bahkan ormas Muhammadiyah tidak hanya menbudidayakan bagi bagi takjil menjelang buka puasa, saat mengakhiri sahur mereka juga melakukan kebiasaan yang sama.
Begitulah sekelumit napak tilas tradisi Takjil dilestarikan oleh masyarakat Indonesia hingga hari ini masih terjaga dengan baik, saat ini tidk hanya di masjid, beberpa kelompok dan organisasi pemuda biasanya turut berbagi takjil di jalan raya agar bisa dinikmati oleh para pengendara yang tidak memungkinkan berbuka puasa di rumah.
Penulis: M.FSA I Editor: Apr