Alasan Muslim di Arab Menghatamkan Al-Qur’an dalam Pelaksanaan Shalat Tarawih

Jakarta, Deras.id – Salat Tarawih berjama’ah sangat berbeda dengan jama’ah di beberapa wilayah, termasuk di Indonesia, terutama pilihan surat yang dibacakan. Imam besar di Masjidil Haram atau di Masjid Nabawi setiap shalat tarawih per harinya membaca 1 Juz begitupun di hari kedua dilanjut Juz ke dua hingga dalam satu bulan pelaksanaannya sudah mengatamkan Al-Qur’an.

Ternyata kebiasaan ini memiliki dasar yang bersumber dari Nabi Muhammad, berikut beberapa penjelasan ulama tentang menghatamkan Al-Qur’an saat Tarawih.

Disunnahkan bagi imam shalat tarawih untuk mengkhatamkan Al- Qur’an dari awal hingga akhir selama bulan Ramadan dengan cara mengangsurnya dari malam pertama hingga malam terakhir, dengan syarat dia tidak membacanya secara terburu-buru hingga merusak kekhusyuan ibadah shalat tarawih.

Terkecuali jika pengkhataman itu akan membuat para makmumnya merasa keberatan maka lebih baik untuk memperhatikan kondisi mereka dan imam menyesuaikan bacaannya. Ini menurut tiga madzhab selain madzhab Maliki, lihatlah pendapat yang berbeda dari madzhab Maliki pada penjelasan di bawah ini.

Menurut madzhab Maliki, dianjurkan bagi imam shalat tarawih untuk mengkhatamkan seluruh Al-Qur’an selama satu bulan dan dengan tidak melakukannya maka hal itu berlawanan dengan perbuatan yang diutamakan kecuali jika dia tidak hafal seluruh isi Al-Qur’an dan tidak ada juga orang lain yang hafal keseluruhannya.

Berbeda dengan rasa keberatan karena hal itu tidak dapat dijadikan alasan untuk tidak mengkhatamkannya. Setiap dua rakaat dari shalat tarawih adalah satu rangkaian shalat yang terpisah dengan rangkaian shalat lainnya oleh karena itu bagi orang yang menunaikan shalat tarawih diharuskan untuk berniat pada awal setiap dua rakaatnya, serta membaca doa iftitah setelah bertakbiratul ihram. Ini menurut para ulama yang mengatakan bahwa doa iftitah disyariatkan, lain halnya dengan madzhab Maliki yang tidak berpendapat demikian.

Menurut madzhab Maliki, doa di antara takbiratul ihram dan bacaan surat Al-Fatihah hukumnya makruh. Doa yang disebut oleh madzhab lain sebagai doa iftitah ini sudah sering sekali kami sebutkar; yaitu Khat “Mahasuci Engkau, ya Allah dan aku memuji-Mu,” dan seterusnya, atau ” Wnjjahtu wajhiya..” dan seterusnya.

Disunnahkan pula agar menambah bacaan tasyahud dengan shalawat atas Nabi Muhammad, sama seperti salat-salat lainnya. Dimakruhkan bagi makmum memperlambat takbiratul ihramnya hingga imam bersedia untuk rukuk, sebab terlihat sekali kemalasannya untuk melaksanakan shalat.

Paling afdhal bagi orang yang melaksanakan salat tarawih untuk melaksanakan salatnya dengan cara berdiri, jika mampu, namun jikapun dilakukan dengan duduk maka shalatnya tetap sah meski berlawanan dengan perbuatan yang diutamakan. Sedangkan paling afdhal adalah melaksanakan salat tarawih di masjid, karena salat yang disyariatkan untuk dilakukan secara berjamaah lebih afdhal jika dilakukan di masjid. Ini menurut pendapat tiga madzhab selain madzhab Maliki. Silakan melihat pendapat yang berbeda dari madzhab Maliki pada penjelasan di bawah ini.

Menurut madzhab Maliki, dianjurkan bagi orang yang melaksanakan salat tarawih untuk melaksanakan shalatnya di rumah meskipun secara berjamaah, karena dengan salat di rumah berarti dia lebih terhindar dari sifat riya (ingin dilihat orang lain), namun dengan tiga syarat. Pertama, agar tetap semangat meskipun mengerjakannya di rumah sendiri. Kedua, tidak sedang berada di kota Makkah atau kota Madinah. Ketiga, dengan melaksanakan salat di rumah tidak membuat masjid menjadi kosong sama sekali atau tidak ada pelaksanaan shalat tarawih berjamaah sama sekali. Apabila salah satu dari ketiga syarat ini tidak terpenuhi, maka sebaiknya salat tarawih tetap dilakukan di dalam masjid.

Penulis: M.FSA I Editor: Apr

Exit mobile version